Donderdag 30 Mei 2013

TUGAS OTONOMI DESA

Otonomi desa merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan prakarsa-prakarsa desa termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang dimiliki desa. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sutoro Eko (2005:xiii) mengemukakan bahwa:
Konteks penting yang mendorong desentralisasi dan otonomi desa adalah: 1) secara historis desa telah lama eksis di Indonesia sebagai kesatuan masyarakat hukum dan self-governing community yang memiliki sistem pemerintahan lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam, 2) lebih dari 60% penduduk Indonesia bertempat tinggal di desa, 3) dari sisi ekonomi-politik, desa memiliki tanah dan penduduk selalu menjadi medan tempur antara negara, kapital dan masyarakat, 4) konstitusi maupun regulasi negara memang telah memberikan pengakuan terhadap desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self-governing community), tetapi pengakuan ini lebih bersifat simbolik-formalistik ketimbang substantif, dan 5) selama lima tahun terakhir desa tengah bergolak menuntut desentralisasi dan otonomi”
Kejelian pemerintah dalam implementasi kebijakan otonomi desa hendaknya diarahkan pada potensi-potensi yang dimiliki desa, untuk itu proses pertumbuhan dan perkembangan dapat terarah termasuk aktualisasi nilai-nilai lokal tidak dapat dimaksudkan untuk mengembalikan desa ke zaman lama, melainkan hendak dijadikan sebagai koridor dalam proses transformasi, agar jalan yang ditempuh tidak destruktif, melainkan tetap mempertimbangkan kepentingan generasi ke depan.
Sumardjan (1996:5) mengemukakan bahwa desa pada umumnya sebelum mengalami pembangunan mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) sumber penghasilan desa adalah pada tanah, 2) teknologi pertanian dan sebagainya masih rendah, 3) tata hidup dan sosial berkembang untuk sosial subsistence (keperluan sosial sendiri), 4) sistem sosial masyarakat desa lebih kuat karena isolasi fisik dan kultur, dan 5) Tumbuh suatu kesatuan masyarakat adat.
Potensi-potensi tersebut juga banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi desa baik sebagai subsistem pemerintahan maupun sebagai subsistem sosial. Saragi (2004:x-xiv) mengemukakan ada empat tantangan yang menonjol bagi institusi pedesaan yaitu: pertama, dukungan untuk membangkitkan institusi lokal yang berbasis masyarakat, kedua, membangun kepemimpinan baru, ketiga, menempatkan pedesaan secara kokoh sebagai bagian integral dari perkembangan politik nasional, dan keempat, perlu atau tidaknya demokratisasi dalam otonomi daerah. Bagi masyarakat lokal diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 merupakan jawaban strategis dalam mendorong proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang demokratis, transparan dan akuntabel.
Otonomi desa membuka peluang dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga sosial keagamaan termasuk fungsi-fungsi obyektif masyarakat. Ndraha (2003:442-445) mengungkap fungsi-fungsi obyektif masyarakat sebagai berikut, pertama, peningkatan nilai sumber daya (subkultur ekonomi) seperti: a) membeli semurah mungkin, b) menjual seuntung mungkin, c) membuat sehemat mungkin, kedua, penciptaan keadilan dan kedamaian (subkultur pemerintahan) seperti: a) berkuasa semudah mungkin, b) menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, c) mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan seformal mungkin, dan ketiga, kontrol terhadap kekuasaan (subkultur sosial), seperti a) peduli (suka usil), b) budaya konsumeristik, c) collective behavior ke collective action. Check-and-balance dapat terjadi jika kekuatan antar ketiga subkultur tersebut seimbang, serasi dan selaras, yang satu tidak berada di bawah yang lain, yang satu tidak lebih lemah daripada yang lain, maju bersama ke depan yang kesemua itu membutuhkan kesadaran nasional, rasa tanggungjawab sosial dan kesediaan berkorban pemuka-pemuka masyarakat di berbagai sektor dan tingkat kehidupan (kaum intelektual, alim-ulama, entrepreneur, dan sebagainya) untuk rela tetap berada dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat subkultur sosial dan tidak tergoda mengejar kekuasaan untuk tergiur akan kekayaan, kesenangan dan popularitas.
Sinergi ketiga subkultur ekonomi, pemerintahan dan sosial yang kesemua itu menumbuhkan dan menguatkan institusi lokal dan terbangunnya demokratisasi masyarakat desa. Dwipayana dan Sutoro Eko, (2003:ix) mengemukakan bahwa peluang otonomi desa dilihat dari perubahan ke arah interaksi yang demokratik dengan fenomena sebagai berikut: 1) dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya institusi lokal, 2) semangat pengadopsian demokrasi delegatif-liberatif cukup besar, dan 3) semangat partisipasi masyarakat yang sangat ditonjolkan. Lebih lanjut dikemukakan Dwipayana dan Sutoro Eko (2003:viii) mengungkapkan bahwa:
Perubahan dalam tata hubungan desa dengan pemerintah supra desa tercermin dalam beberapa hal antara lain: 1) pelimpahan wewenang mengenai pengaturan pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten atau kota, 2) dimungkinkan munculnya variasi di tiap daerah mengenai model pemerintahan di tingkat desa akibat perubahan kebijakan, 3) intervensi pemerintah supra desa dihilangkan dalam pemilihan kepala desa dengan dihapuskannya wewenang Panitia Litsus, 4) asas pembantuan masih dimungkinkan tetapi harus disertai dengan pembiayaan dan prasarana yang memadai, dan 5) adanya peluang diversifikasi penggalian pengelolaan sumber-sumber keuangan desa”
Pola hubungan infra dan supra desa tersebut membutuhkan sinergitas dalam pembangunan. Di samping itu terdapat peluang-peluang lain pada perubahan dalam tata hubungan desa dengan supra desa termasuk pola hubungan antara Kepala Desa – Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan camat.
Tugas utama pemerintah dalam rangka otonomi desa adalah menciptakan kehidupan demokratis, memberi pelayanan publik dan sipil yang cepat dan membangun kepercayaan masyarakat menuju kemandirian desa. Untuk itu desa tidak dikelola secara teknokratis tetapi harus mampu memadukan realita kemajuan teknologi yang berbasis pada sistem nilai lokal yang mengandung tata aturan, nilai, norma, kaidah dan pranata-pranata sosial lainnya.
Potensi-potensi desa berupa hak tanah (tanah bengkok, titisari dan tanah-tanah khas desa lainnya), potensi penduduk, sentra-sentra ekonomi dan dinamika sosial-politik yang dinamis itu menuntut kearifan dan profesionalisme dalam pengelolaan desa menuju optimalisasi pelayanan, pemberdayaan, dan dinamisasi pembangunan masyarakat desa. Sejalan dengan itu, Sutoro Eko (2005:xv) menjelaskan bahwa:
Tujuan yang substansial dari desentralisasi dan otonomi desa itu adalah: pertama, mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat, kedua, memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan, ketiga, menciptakan efisiensi pembiayaan pem-bangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, keempat, men-dongkrak kesejahteraan perangkat desa, kelima, menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat desa, keenam mem-berikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi desa, ketujuh, menempa kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, kedelapan membuka arena pembelajaran yang sangat bagi pemerintah desa, BPD dan masyarakat dan kesembilan merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal”
Esensi dan substansi rujukan tersebut di atas yaitu kesejahteraan masyarakat, partisipasi aktif dan upaya membangun kepercayaan bersama yang dibingkai dengan sinergitas antara pemerintah dengan yang diperintah. Upaya mengawal tujuan desentralisasi dan otonomi desa itu memerlukan komitmen politik dan keberpihakan kepada desa menuju kemandirian desa. Dan tuntutan kemandirian desa pada hakekatnya adalah terbentuknya daerah otonomi tingkat tiga yang disebut otonomi desa.
Pokok-pokok pikiran tersebut di atas berdampak langsung pada kegiatan pemerintahan pada level desa sebagai subsistem pemerintahan nasional yang dalam kondisi empirik cenderung tidak proporsional. Mengingat kedudukan desa selama ini terkesan dimarginalkan, partisipasi publik perlu dibangun sebagai bagian rekonstruksi penguatan peranan desa dalam otonomi daerah. Desentralisasi yang hakiki adalah desentralisasi yang memberikan ruang inisiatif dan ruang gerak bagi desa dalam keanekaragaman karakteristiknya untuk secara penuh terlibat dalam perencanaan daerah.
Posisi pemerintahan desa yang dimarginalkan tidak menguntungkan dengan tumbuh dan berkembangnya otonomi desa, bahkan lambat laut desa dan kemandiriannya mengalami stagnan bahkan terjadi degradasi yang cukup signifikan bagi otonomi desa.
Otonomi desa dalam kasus Desa Dompyong Kec. Babakan Kabupaten Cirebon yang dimarginlkan menyangkut nilai-nilai, norma, kaidah hidup bersama dan gotong royong. Sementara itu otonomi desa dalam status dan kedudukan desa, istilah-istilah perangkat desa saat ini seperti Kuwu, Juru Tulis, Ngabihi, Cap Gawe, Lebe dan sebagainya telah terkubur dan baru dibangkitkan kembali ketika berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

TUGAS: OTONOMI DESA

Otonomi desa merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan prakarsa-prakarsa desa termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang dimiliki desa. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sutoro Eko (2005:xiii) mengemukakan bahwa:
Konteks penting yang mendorong desentralisasi dan otonomi desa adalah: 1) secara historis desa telah lama eksis di Indonesia sebagai kesatuan masyarakat hukum dan self-governing community yang memiliki sistem pemerintahan lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam, 2) lebih dari 60% penduduk Indonesia bertempat tinggal di desa, 3) dari sisi ekonomi-politik, desa memiliki tanah dan penduduk selalu menjadi medan tempur antara negara, kapital dan masyarakat, 4) konstitusi maupun regulasi negara memang telah memberikan pengakuan terhadap desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self-governing community), tetapi pengakuan ini lebih bersifat simbolik-formalistik ketimbang substantif, dan 5) selama lima tahun terakhir desa tengah bergolak menuntut desentralisasi dan otonomi”
Kejelian pemerintah dalam implementasi kebijakan otonomi desa hendaknya diarahkan pada potensi-potensi yang dimiliki desa, untuk itu proses pertumbuhan dan perkembangan dapat terarah termasuk aktualisasi nilai-nilai lokal tidak dapat dimaksudkan untuk mengembalikan desa ke zaman lama, melainkan hendak dijadikan sebagai koridor dalam proses transformasi, agar jalan yang ditempuh tidak destruktif, melainkan tetap mempertimbangkan kepentingan generasi ke depan.
Sumardjan (1996:5) mengemukakan bahwa desa pada umumnya sebelum mengalami pembangunan mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) sumber penghasilan desa adalah pada tanah, 2) teknologi pertanian dan sebagainya masih rendah, 3) tata hidup dan sosial berkembang untuk sosial subsistence (keperluan sosial sendiri), 4) sistem sosial masyarakat desa lebih kuat karena isolasi fisik dan kultur, dan 5) Tumbuh suatu kesatuan masyarakat adat.
Potensi-potensi tersebut juga banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi desa baik sebagai subsistem pemerintahan maupun sebagai subsistem sosial. Saragi (2004:x-xiv) mengemukakan ada empat tantangan yang menonjol bagi institusi pedesaan yaitu: pertama, dukungan untuk membangkitkan institusi lokal yang berbasis masyarakat, kedua, membangun kepemimpinan baru, ketiga, menempatkan pedesaan secara kokoh sebagai bagian integral dari perkembangan politik nasional, dan keempat, perlu atau tidaknya demokratisasi dalam otonomi daerah. Bagi masyarakat lokal diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 merupakan jawaban strategis dalam mendorong proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang demokratis, transparan dan akuntabel.
Otonomi desa membuka peluang dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga sosial keagamaan termasuk fungsi-fungsi obyektif masyarakat. Ndraha (2003:442-445) mengungkap fungsi-fungsi obyektif masyarakat sebagai berikut, pertama, peningkatan nilai sumber daya (subkultur ekonomi) seperti: a) membeli semurah mungkin, b) menjual seuntung mungkin, c) membuat sehemat mungkin, kedua, penciptaan keadilan dan kedamaian (subkultur pemerintahan) seperti: a) berkuasa semudah mungkin, b) menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, c) mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan seformal mungkin, dan ketiga, kontrol terhadap kekuasaan (subkultur sosial), seperti a) peduli (suka usil), b) budaya konsumeristik, c) collective behavior ke collective action. Check-and-balance dapat terjadi jika kekuatan antar ketiga subkultur tersebut seimbang, serasi dan selaras, yang satu tidak berada di bawah yang lain, yang satu tidak lebih lemah daripada yang lain, maju bersama ke depan yang kesemua itu membutuhkan kesadaran nasional, rasa tanggungjawab sosial dan kesediaan berkorban pemuka-pemuka masyarakat di berbagai sektor dan tingkat kehidupan (kaum intelektual, alim-ulama, entrepreneur, dan sebagainya) untuk rela tetap berada dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat subkultur sosial dan tidak tergoda mengejar kekuasaan untuk tergiur akan kekayaan, kesenangan dan popularitas.
Sinergi ketiga subkultur ekonomi, pemerintahan dan sosial yang kesemua itu menumbuhkan dan menguatkan institusi lokal dan terbangunnya demokratisasi masyarakat desa. Dwipayana dan Sutoro Eko, (2003:ix) mengemukakan bahwa peluang otonomi desa dilihat dari perubahan ke arah interaksi yang demokratik dengan fenomena sebagai berikut: 1) dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya institusi lokal, 2) semangat pengadopsian demokrasi delegatif-liberatif cukup besar, dan 3) semangat partisipasi masyarakat yang sangat ditonjolkan. Lebih lanjut dikemukakan Dwipayana dan Sutoro Eko (2003:viii) mengungkapkan bahwa:
Perubahan dalam tata hubungan desa dengan pemerintah supra desa tercermin dalam beberapa hal antara lain: 1) pelimpahan wewenang mengenai pengaturan pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten atau kota, 2) dimungkinkan munculnya variasi di tiap daerah mengenai model pemerintahan di tingkat desa akibat perubahan kebijakan, 3) intervensi pemerintah supra desa dihilangkan dalam pemilihan kepala desa dengan dihapuskannya wewenang Panitia Litsus, 4) asas pembantuan masih dimungkinkan tetapi harus disertai dengan pembiayaan dan prasarana yang memadai, dan 5) adanya peluang diversifikasi penggalian pengelolaan sumber-sumber keuangan desa”
Pola hubungan infra dan supra desa tersebut membutuhkan sinergitas dalam pembangunan. Di samping itu terdapat peluang-peluang lain pada perubahan dalam tata hubungan desa dengan supra desa termasuk pola hubungan antara Kepala Desa – Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan camat.
Tugas utama pemerintah dalam rangka otonomi desa adalah menciptakan kehidupan demokratis, memberi pelayanan publik dan sipil yang cepat dan membangun kepercayaan masyarakat menuju kemandirian desa. Untuk itu desa tidak dikelola secara teknokratis tetapi harus mampu memadukan realita kemajuan teknologi yang berbasis pada sistem nilai lokal yang mengandung tata aturan, nilai, norma, kaidah dan pranata-pranata sosial lainnya.
Potensi-potensi desa berupa hak tanah (tanah bengkok, titisari dan tanah-tanah khas desa lainnya), potensi penduduk, sentra-sentra ekonomi dan dinamika sosial-politik yang dinamis itu menuntut kearifan dan profesionalisme dalam pengelolaan desa menuju optimalisasi pelayanan, pemberdayaan, dan dinamisasi pembangunan masyarakat desa. Sejalan dengan itu, Sutoro Eko (2005:xv) menjelaskan bahwa:
Tujuan yang substansial dari desentralisasi dan otonomi desa itu adalah: pertama, mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat, kedua, memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan, ketiga, menciptakan efisiensi pembiayaan pem-bangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, keempat, men-dongkrak kesejahteraan perangkat desa, kelima, menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat desa, keenam mem-berikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi desa, ketujuh, menempa kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, kedelapan membuka arena pembelajaran yang sangat bagi pemerintah desa, BPD dan masyarakat dan kesembilan merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal”
Esensi dan substansi rujukan tersebut di atas yaitu kesejahteraan masyarakat, partisipasi aktif dan upaya membangun kepercayaan bersama yang dibingkai dengan sinergitas antara pemerintah dengan yang diperintah. Upaya mengawal tujuan desentralisasi dan otonomi desa itu memerlukan komitmen politik dan keberpihakan kepada desa menuju kemandirian desa. Dan tuntutan kemandirian desa pada hakekatnya adalah terbentuknya daerah otonomi tingkat tiga yang disebut otonomi desa.
Pokok-pokok pikiran tersebut di atas berdampak langsung pada kegiatan pemerintahan pada level desa sebagai subsistem pemerintahan nasional yang dalam kondisi empirik cenderung tidak proporsional. Mengingat kedudukan desa selama ini terkesan dimarginalkan, partisipasi publik perlu dibangun sebagai bagian rekonstruksi penguatan peranan desa dalam otonomi daerah. Desentralisasi yang hakiki adalah desentralisasi yang memberikan ruang inisiatif dan ruang gerak bagi desa dalam keanekaragaman karakteristiknya untuk secara penuh terlibat dalam perencanaan daerah.
Posisi pemerintahan desa yang dimarginalkan tidak menguntungkan dengan tumbuh dan berkembangnya otonomi desa, bahkan lambat laut desa dan kemandiriannya mengalami stagnan bahkan terjadi degradasi yang cukup signifikan bagi otonomi desa.
Otonomi desa dalam kasus Desa Dompyong Kec. Babakan Kabupaten Cirebon yang dimarginlkan menyangkut nilai-nilai, norma, kaidah hidup bersama dan gotong royong. Sementara itu otonomi desa dalam status dan kedudukan desa, istilah-istilah perangkat desa saat ini seperti Kuwu, Juru Tulis, Ngabihi, Cap Gawe, Lebe dan sebagainya telah terkubur dan baru dibangkitkan kembali ketika berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

TUGAS: OTONOMI DESA

Otonomi desa merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan prakarsa-prakarsa desa termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang dimiliki desa. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sutoro Eko (2005:xiii) mengemukakan bahwa:
Konteks penting yang mendorong desentralisasi dan otonomi desa adalah: 1) secara historis desa telah lama eksis di Indonesia sebagai kesatuan masyarakat hukum dan self-governing community yang memiliki sistem pemerintahan lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam, 2) lebih dari 60% penduduk Indonesia bertempat tinggal di desa, 3) dari sisi ekonomi-politik, desa memiliki tanah dan penduduk selalu menjadi medan tempur antara negara, kapital dan masyarakat, 4) konstitusi maupun regulasi negara memang telah memberikan pengakuan terhadap desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self-governing community), tetapi pengakuan ini lebih bersifat simbolik-formalistik ketimbang substantif, dan 5) selama lima tahun terakhir desa tengah bergolak menuntut desentralisasi dan otonomi”
Kejelian pemerintah dalam implementasi kebijakan otonomi desa hendaknya diarahkan pada potensi-potensi yang dimiliki desa, untuk itu proses pertumbuhan dan perkembangan dapat terarah termasuk aktualisasi nilai-nilai lokal tidak dapat dimaksudkan untuk mengembalikan desa ke zaman lama, melainkan hendak dijadikan sebagai koridor dalam proses transformasi, agar jalan yang ditempuh tidak destruktif, melainkan tetap mempertimbangkan kepentingan generasi ke depan.
Sumardjan (1996:5) mengemukakan bahwa desa pada umumnya sebelum mengalami pembangunan mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) sumber penghasilan desa adalah pada tanah, 2) teknologi pertanian dan sebagainya masih rendah, 3) tata hidup dan sosial berkembang untuk sosial subsistence (keperluan sosial sendiri), 4) sistem sosial masyarakat desa lebih kuat karena isolasi fisik dan kultur, dan 5) Tumbuh suatu kesatuan masyarakat adat.
Potensi-potensi tersebut juga banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi desa baik sebagai subsistem pemerintahan maupun sebagai subsistem sosial. Saragi (2004:x-xiv) mengemukakan ada empat tantangan yang menonjol bagi institusi pedesaan yaitu: pertama, dukungan untuk membangkitkan institusi lokal yang berbasis masyarakat, kedua, membangun kepemimpinan baru, ketiga, menempatkan pedesaan secara kokoh sebagai bagian integral dari perkembangan politik nasional, dan keempat, perlu atau tidaknya demokratisasi dalam otonomi daerah. Bagi masyarakat lokal diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 merupakan jawaban strategis dalam mendorong proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang demokratis, transparan dan akuntabel.
Otonomi desa membuka peluang dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga sosial keagamaan termasuk fungsi-fungsi obyektif masyarakat. Ndraha (2003:442-445) mengungkap fungsi-fungsi obyektif masyarakat sebagai berikut, pertama, peningkatan nilai sumber daya (subkultur ekonomi) seperti: a) membeli semurah mungkin, b) menjual seuntung mungkin, c) membuat sehemat mungkin, kedua, penciptaan keadilan dan kedamaian (subkultur pemerintahan) seperti: a) berkuasa semudah mungkin, b) menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, c) mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan seformal mungkin, dan ketiga, kontrol terhadap kekuasaan (subkultur sosial), seperti a) peduli (suka usil), b) budaya konsumeristik, c) collective behavior ke collective action. Check-and-balance dapat terjadi jika kekuatan antar ketiga subkultur tersebut seimbang, serasi dan selaras, yang satu tidak berada di bawah yang lain, yang satu tidak lebih lemah daripada yang lain, maju bersama ke depan yang kesemua itu membutuhkan kesadaran nasional, rasa tanggungjawab sosial dan kesediaan berkorban pemuka-pemuka masyarakat di berbagai sektor dan tingkat kehidupan (kaum intelektual, alim-ulama, entrepreneur, dan sebagainya) untuk rela tetap berada dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat subkultur sosial dan tidak tergoda mengejar kekuasaan untuk tergiur akan kekayaan, kesenangan dan popularitas.
Sinergi ketiga subkultur ekonomi, pemerintahan dan sosial yang kesemua itu menumbuhkan dan menguatkan institusi lokal dan terbangunnya demokratisasi masyarakat desa. Dwipayana dan Sutoro Eko, (2003:ix) mengemukakan bahwa peluang otonomi desa dilihat dari perubahan ke arah interaksi yang demokratik dengan fenomena sebagai berikut: 1) dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya institusi lokal, 2) semangat pengadopsian demokrasi delegatif-liberatif cukup besar, dan 3) semangat partisipasi masyarakat yang sangat ditonjolkan. Lebih lanjut dikemukakan Dwipayana dan Sutoro Eko (2003:viii) mengungkapkan bahwa:
Perubahan dalam tata hubungan desa dengan pemerintah supra desa tercermin dalam beberapa hal antara lain: 1) pelimpahan wewenang mengenai pengaturan pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten atau kota, 2) dimungkinkan munculnya variasi di tiap daerah mengenai model pemerintahan di tingkat desa akibat perubahan kebijakan, 3) intervensi pemerintah supra desa dihilangkan dalam pemilihan kepala desa dengan dihapuskannya wewenang Panitia Litsus, 4) asas pembantuan masih dimungkinkan tetapi harus disertai dengan pembiayaan dan prasarana yang memadai, dan 5) adanya peluang diversifikasi penggalian pengelolaan sumber-sumber keuangan desa”
Pola hubungan infra dan supra desa tersebut membutuhkan sinergitas dalam pembangunan. Di samping itu terdapat peluang-peluang lain pada perubahan dalam tata hubungan desa dengan supra desa termasuk pola hubungan antara Kepala Desa – Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan camat.
Tugas utama pemerintah dalam rangka otonomi desa adalah menciptakan kehidupan demokratis, memberi pelayanan publik dan sipil yang cepat dan membangun kepercayaan masyarakat menuju kemandirian desa. Untuk itu desa tidak dikelola secara teknokratis tetapi harus mampu memadukan realita kemajuan teknologi yang berbasis pada sistem nilai lokal yang mengandung tata aturan, nilai, norma, kaidah dan pranata-pranata sosial lainnya.
Potensi-potensi desa berupa hak tanah (tanah bengkok, titisari dan tanah-tanah khas desa lainnya), potensi penduduk, sentra-sentra ekonomi dan dinamika sosial-politik yang dinamis itu menuntut kearifan dan profesionalisme dalam pengelolaan desa menuju optimalisasi pelayanan, pemberdayaan, dan dinamisasi pembangunan masyarakat desa. Sejalan dengan itu, Sutoro Eko (2005:xv) menjelaskan bahwa:
Tujuan yang substansial dari desentralisasi dan otonomi desa itu adalah: pertama, mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat, kedua, memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan, ketiga, menciptakan efisiensi pembiayaan pem-bangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, keempat, men-dongkrak kesejahteraan perangkat desa, kelima, menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat desa, keenam mem-berikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi desa, ketujuh, menempa kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, kedelapan membuka arena pembelajaran yang sangat bagi pemerintah desa, BPD dan masyarakat dan kesembilan merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal”
Esensi dan substansi rujukan tersebut di atas yaitu kesejahteraan masyarakat, partisipasi aktif dan upaya membangun kepercayaan bersama yang dibingkai dengan sinergitas antara pemerintah dengan yang diperintah. Upaya mengawal tujuan desentralisasi dan otonomi desa itu memerlukan komitmen politik dan keberpihakan kepada desa menuju kemandirian desa. Dan tuntutan kemandirian desa pada hakekatnya adalah terbentuknya daerah otonomi tingkat tiga yang disebut otonomi desa.
Pokok-pokok pikiran tersebut di atas berdampak langsung pada kegiatan pemerintahan pada level desa sebagai subsistem pemerintahan nasional yang dalam kondisi empirik cenderung tidak proporsional. Mengingat kedudukan desa selama ini terkesan dimarginalkan, partisipasi publik perlu dibangun sebagai bagian rekonstruksi penguatan peranan desa dalam otonomi daerah. Desentralisasi yang hakiki adalah desentralisasi yang memberikan ruang inisiatif dan ruang gerak bagi desa dalam keanekaragaman karakteristiknya untuk secara penuh terlibat dalam perencanaan daerah.
Posisi pemerintahan desa yang dimarginalkan tidak menguntungkan dengan tumbuh dan berkembangnya otonomi desa, bahkan lambat laut desa dan kemandiriannya mengalami stagnan bahkan terjadi degradasi yang cukup signifikan bagi otonomi desa.
Otonomi desa dalam kasus Desa Dompyong Kec. Babakan Kabupaten Cirebon yang dimarginlkan menyangkut nilai-nilai, norma, kaidah hidup bersama dan gotong royong. Sementara itu otonomi desa dalam status dan kedudukan desa, istilah-istilah perangkat desa saat ini seperti Kuwu, Juru Tulis, Ngabihi, Cap Gawe, Lebe dan sebagainya telah terkubur dan baru dibangkitkan kembali ketika berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

TGAS: MAKALAH Pemberdayaan Desa melalui Otonomi Desa

Seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka Penyelenggaraan pemerintahan di daerah khususnya kabupaten/kota dilaksanakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demikian kemudian lebih akrab disebut Otonomi Daerah.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hakikat Otonomi Daerah adalah upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang luas dan utuh yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah dan masyarakat. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen keuangan daerah yang sehat.
Prinsip luas, nyata dan bertannggungjawab dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Dalam perkembangan otonomi daerah, pemerintah pusat semakin memperhatikan dan menekankan pembangunan masyarakat desa melalui otonomi pemerintahan desa. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat, mewujudkan paran aktif masyarakat untuk turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa.
Hal ini lebih ditegaskan dalam pengaturan mengenai desa yaitu dengan ditetapkannya PP No 72 tahun 2005. Prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenai desa  yaitu : Keanekaragaman, Partisipasi, otonomi asli, Demokratisasi, dan Pemberdayaan masyarakat.
Ginanjar Kartasas¬mita (1994) memberikan pengertian pembangunan yang sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”. Pembangunan dalam Paradigma Governance bertujuan untuk mewujudkan Interaksi antara Pemerintah, Dunia Usaha Swasta, dan Masyarakat.  Apabila sendi-sendi tersebut dipenuhi, maka terwujudlah Good Governance. 
Selanjutnya berdasarkan Permendagri No 66 tahun 2007  tentang Perencanaan Pembangunan Desa, pembangunan di desa merupakan model Pembangunan partisipatif adalah suatu sistem pengelolaan pembangunan di desa bersama-sama secara musyawarah, mufakat, dan gotong royong yang merupakan cara hidup masyarakat yang telah lama berakar budaya wilayah Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 Permendagri No 66 tahun 2007,  karakteristik pembangunan partisipatif diantaranya direncanakan dengan pemberdayaan dan partisipatif. Pemberdayaan, yaitu upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedangkan partisipatif, yaitu keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.
Pembangunan di desa menjadi tanggungjawab Kepala desa sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) PP No 72 tahun 2005 ditegaskan bahwa Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Kegiatan pembangunan direncanakan dalam forum Musrenbangdes, hasil musyawarah tersebut di  ditetapkan dalam RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Desa) selanjutnya ditetapkan dalam APBDesa. Dalam pelaksanaan pembangunan  Kepala Desa dibantu oleh perangkat desa dan dapat dibantu oleh lembaga kemasyarakatan di desa.
Selanjutnya khusus untuk anggaran pembangunan yang bersumber dari Alokasi dana desa, 70% dari anggaran tersebut merupakan belanja pemberdayaan masyarakat. Ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (2) Permendagri No 37 tahun 2007 jo. Pasal 21 ayat (4) Perbup No 55 tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa bahwa Belanja Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk :
  1. Biaya perbaikan prasarana dan sarana publik ;
  2. Menunjang kegiatan LPMD dan PKK;
  3. Penyertaan modal usaha masyarakat melalui BUMDesa;
  4. Biaya untuk pengadaan ketahanan pangan;
  5. Perbaikan lingkungan dan pemukiman;
  6. Teknologi Tepat Guna;
  7. Perbaikan kesehatan dan pendidikan;
  8. Pengembangan sosial budaya; dan/atau
  9. Kegiatan lainnya yang dianggap penting

Pemberdayaan masyarakat,  secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat.
Dari definisi tersebut terlihat ada 3 tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah tentunya perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat.  Pengorganisasian masyarakat dapat dijelaskan sebagai suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Disini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain.
Pemberdayaan masyarakat muncul karena adanya suatu kondisi Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah mengakibatkan mereka tidak mampu dan tidak tahu. Ketidakmampuan dan ketidaktahuan masyarakat mengakibatkan produktivitas mereka rendah.
Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui:
1. Pengembangan masyarakat
2. Pengorganisasian masyarakat
Apa yang dikembangkan dari masyarakat yaitu potensi atau kemampuannya dan sikap hidupnya. Kemampuan masyarakat dapat meliputi antara lain kemampuan untuk bertani, berternak, melakukan wirausaha, atau ketrampilan-ketrampilan membuat home industri; dan masih banyak lagi kemampuan dan ketrampilan masyarakat yang dapat dikembangkan.
Dalam rangka mengembangkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Contoh dengan mengadakan pelatihan atau mengikutkan masyarakat pada pelatihan-pelatihan pengembangan kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan. Dapat juga dengan mengajak masyarakat mengunjungi kegiatan ditempat lain dengan maksud supaya masyarakat dapat melihat sekaligus belajar, kegiatan ini sering disebut dengan istilah studi banding.
Dapat juga dengan menyediakan buku-buku bacaan yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan atau peminatan masyarakat. Masih banyak bentuk lainnya yang bias diupayakan.
Sikap hidup yang perlu diubah tentunya sikap hidup yang merugikan atau menghambat peningkatan kesejahteraan hidup. Merubah sikap bukan pekerjaan mudah. Mengapa karena masyarakat sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun sudah melakukan hal itu. Untuk itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan perubahan sikap. Caranya adalah dengan memberikan penyadaran bahwa apa yang mereka lakukan selama ini merugikan mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan banyak informasi dengan menggunakan berbagai media, seperti buku-buku bacaan, mengajak untuk melihat tempat lain, menyetel film penerangan, dan masih banya cara lain.
Pada pengorganisasian masyarakat, kuncinya adalah menempatkan masyarakat sebagai pelakunya. Untuk itu masyarakat perlu diajak mulai dari perencanaan kegiatan, pelaksanaan, sampai pemeliharaan dan pelestarian. Pelibatan masyarakat sejak awal kegiatan memungkinkan masyarakat memiliki kesempatan belajar lebih banyak. Pada awal-awal kegiatan mungkin pendamping sebagai pendamping akan lebih banyak memberikan informasi atau penjelasan bahkan memberikan contoh langsung. Pada tahap ini masyarakat lebih banyak belajar namun pada tahap-tahap berikutnya pendamping harus mulai memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mencoba melakukan sendiri hingga mampu atau bisa. Jika hal ini terjadi maka dikemudian hari pada saat pendamping meninggalkan masyarakat tersebut, masyarakat sudah mampu untuk melakukannya sendiri atau mandiri.
Prinsip dasar pemberdayaan untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya atau mandiri:
a. Penyadaran
Untuk dapat maju atau melakukan sesuatu, orang harus dibangunkan dari tidurnya. Demikian masyarakat juga harus dibangunkan dari “tidur” keterbelakangannya, dari kehidupannya sehari-hari yang tidak memikirkan  masa depannya. Orang yang pikirannya tertidur merasa tidak mempunyai masalah, karena mereka tidak memiliki aspirasi dan tujuan-tujuan yang harus diperjuangkan.
Penyadaran berarti bahwa masyarakat secara keseluruhan menjadi sadar bahwa mereka mempunyai tujuan-tujuan dan masalah-masalah. Masyarakat yang sadar juga mulai menemukan peluang-peluang dan memanfaatkannya, menemukan sumberdaya-sumberdaya yang ada ditempat itu yang barangkali sampai saat ini tak pernah dipikirkan orang.
Masyarakat yang sadar menjadi semakin tajam dalam mengetahui apa yang sedang terjadi baik di dalam maupun diluar masyarakatnya. Masyarakat menjadi mampu merumuskan kebutuhan-kebutuhan dan aspirasinya.
b. Pelatihan
Pendidikan di sini bukan hanya belajar membaca,menulis dan berhitung, tetapi juga meningkatkan ketrampilan-ketrampilan bertani, kerumahtanggaan, industri dan cara menggunakan pupuk. Juga belajar dari sumber-sumber yang dapat diperoleh untuk mengetahui bagaimana memakai jasa bank, bagaimana membuka rekening dan memperoleh pinjaman. Belajar tidak hanya dapat dilakukan melalui sekolah, tapi juga melalui  pertemuan-pertemuan informal dan diskusi-diskusi kelompok tempat mereka membicarakan masalah-masalah mereka.
Melalui pendidikan, kesadaran masyarakat akan terus berkembang. Perlu ditekankan bahwa setiap orang dalam masyarakat harus mendapatkan pendidikan, termasuk orangtua dan kaum wanita. Ide besar yang terkandung dibalik pendidikan kaum miskin adalah bahwa pengetahuan menganggarkan kekuatan.
c. Pengorganisasian
Agar menjadi kuat dan dapat menentukan nasibnya sendiri, suatu masyarakat tidak cukup hanya disadarkan dan dilatih ketrampilan, tapi juga harus diorganisir.
Organisasi berarti bahwa segala hal dikerjakan dengan cara yang teratur, ada pembagian tugas diantara individu-individu yang akan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas masing-masing dan ada kepemimpinan yang tidak hanya terdiri dari beberapa gelintir orang tapi kepemimpinan diberbagai tingkatan.
Tugas-tugas harus dibagikan pada berbagai kelompok, termasuk kaum muda, kaum wanita, dan orangtua. Pembukuan yang sehat juga sangat penting. Semua orang harus mengetahui penggunaan uang dan berapa sisanya. Pembukuan harus dikontrol secara rutin misalnya setiap bulan untuk menghindari adanya penyelewengan.
d. Pengembangan kekuatan
Kekuasaan berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Bila dalam suatu masyarakat tidak ada penyadaran, latihan atau organisasi, orang-orangnya akan merasa tak berdaya dan tak berkekuatan. Mereka berkata “kami tidak bisa, kami tidak punya kekuatan”.
e. Membangun Dinamika
Dinamika masyarakat berarti bahwa masyarakat itu sendiri yang memutuskan dan melaksanakan program-programnya sesuai dengan rencana yang sudah digariskan dan diputuskan sendiri. Dalam konteks ini keputusan-keputusan sedapat mungkin harus diambil di dalam masyarakat sendiri, bukan diluar masyarakat tersebut.
Lebih jauh lagi, keputusan-keputusan harus diambil dari dalam masyarakat sendiri. Semakin berkurangnya kontrol dari masyarakat terhadap keputusan-keputusan itu, semakin besarlah bahaya bahwa orang-orang tidak mengetahui keputusan-keputusan tersebut atau bahkan keputusan-keputusan itu keliru. Hal prinsip bahwa keputusan harus diambil sedekat mungkin dengan tempat pelaksanaan atau sasaran.
Pendamping dalam pemberdayaan masyarakat antara lain kabupaten, Fasilitator Kecamatan, Asisten Fasilitator Kecamatan, Fasilitator Desa, Camat, atau nama pendamping lainnya. Pada dasarnya siapa saja yang berperan mendampingi masyarakat dikategorikan sebagai pendamping.
Secara garis besar pendamping masyarakat memiliki 3 peran yaitu: pembimbing, enabler, dan ahli.
Sebagai pembimbing, pendamping memiliki tugas utama yaitu membantu masyarakat untuk memutuskan/menetapkan tindakan. Disini pendamping perlu memberikan banyak informasi kepada masyarakat, agar masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat memilih dan menetapkan tindakan yang dapat menyelesaikan masalah mereka.
Sebagai enabler, dengan kemampuan fasilitasinya pendamping mendorong masyarakat untuk mengenali masalah atau kebutuhannya berikut potensinya. Mendorong masyarakat untuk mengenali kondisinya, menjadi begitu penting karena hal ini adalah langkah awal untuk memulai kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kemampuan masyarakat. Ketrampilan fasilitasi dan komunikasi sangat dibutuhkan untuk menjalankan peran ini.
Sebagai ahli, pendamping dengan ketrampilan khusus yang diperoleh dari lingkup pendidikannya atau dari pengalamannya dapat memberikan keterangan-keterangan teknis yang dibutuhkan oleh masyarakat saat mereka melaksanakan kegiatannya.
Keterangan-keterangan yang diberikan oleh pendamping bukan bersifat mendikte masyarakat melainkan berupa penyampaian fakta-fakta saja. Biarkan masyarakat yang memutuskan tindakan yang akan diambil. Untuk itu pendamping perlu memberikan banyak fakta atau contoh-contoh agar masyarakat lebih mudah untuk mengambil sikap atau keputusan dengan benar.
Pendamping dalam ruang lingkup pemberdayaan  masyarakat perlu menyadari, bahwa peran utamanya melakukan pembelajaran kepada masyarakat. Berdasarkan peran pendamping sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka dapat diidentifikasi persyaratan pendamping adalah sebagai berikut :
  1. Mampu membangun kepercayaan bersama masyarakat.
  2. Mampu mengenali potensi masyarakat
  3. Mampu berkomunikasi dengan masyarakat.
  4. Profesional dalam pendekatan kepada masy.
  5. Memahami kondisi masyarakat.
  6. Punya ketrampilan dasar untuk peningkatan kesejahteraan masy.
  7. Mengetahui keterbatasan diri sehingga tahu:

Desentralisasi dan Otonomi desa Suatu Kajian dari Segi Implementasi Pembagian Kewenangan Antara Desa Dan Kabupaten.


1.      Implementasi pembagian kewenangan antara desa dengan kabupaten di desa penelitian belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan pembagian kewenangan antara desa dan kabupaten itu sendiri hingga penelitian ini berlangsung belum pernah dilakukan. Peraturan daerah yang mengatur hal itu belum ada.
2.      Faktor-faktor yang menjadi kendala tidak adanya implementasi pembagian kewenangan itu sendiri amatlah kompleks, yakni menyangkut:
a.       Belum adanya aturan hukum yang memadai yang menjadi dasar pembagian kewenangan. Oleh karena itu implementasinya pun juga belum ada. Jika di desa telah dilaksanakan kewenangan-kewenangan,   hal   itu   semata-mata   didasarkan   pada   rutinitas sebelumnya.
b.      Kemampuan perangkat desa maupun anggota BPD relatif terbatas baik dalam hal tingkat pendidikan formal, kemampuan khusus terkait dengan tuntutan juga fungsinya, maupun pemahaman terhadap kewenangan desa itu sendiri.
c.       Tingkat menghasilkan para perangkat desa dan anggota BPD belum memadai, sehingga mengakibatkan dedikasi kerja tidak optimal. Rencana pemerintah untuk mengangkat Sekretaris Desa menjadi PNS, di satu pihak disambut antusias oleh para perangkat desa oleh karena jelas bisa meningkatkan penghasilan, namun di lain pihak justru merupakan masalah dan hambatan besar bagi menguatnya otonomi desa menuju kemandirian.
3.       Kewenangan ideal yang perlu dimiliki desa agar penguatan otonomi desa tercapai dan akhirnya menuju desa mandiri adalah sebagai berikut :
a.       Kewenangan untuk turut serta menentukan kebijakan Kabupaten
yang menyangkut desa.
b.      Kewenangan untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas dalam
melaksanakan otonomi desa dan mengelola sumber pendapatan
desa
c.       Kewenangan untuk menolak tugas-tugas pembantuan yang tidak
sesuai dengan aspirasi dan daya dukung desa, dan penolakan
tidak diartikan sebagai sesuatu yang negatif.
4.      Berdasar pada hasil penelitian maka implikasi kebijakan yang perlu diambil disarankan sebagai berikut:
a.       Segera diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten tentang penyerahan urusan yang menjadi kewenangan kabupaten yang perlu diserahkan kepada desa, agar menjadi pedoman yang jelas bagi desa untuk mengimplementasikan kewenangan tersebut.
b.      Diperlukan Kebijakan Pemerintah Kabupaten maupun Lembaga Profesional seperti Perguruan Tinggi untuk : (a) meningkatkan profesionalitas perangkat desa dan anggota BPD agar mampu menjalankan fungsi masing-masing, dan mampu mengelola sumber pendapatan desa secara profesional, (b) memberi keleluasaan kepada desa untuk mengembangkan kreatifitas dan inisiatif dalam menjalankan otonomi desa.
c.       Diperlukan kebijakan untuk meningkatkan penghasilan aparat melalui alternatif : (a) Pengembangan Badan Usaha Milik Desa, bagi desa yang profesional ke arah itu, atau (b) mengangkat perangkat desa menjadi PNS untuk desa-desa yang profesional berkembang ke arah perubahan status menjadi kelurahan.